Pengetahuan

Bagaimana Gambaran Korupsi di Indonesia Dengan Negara Lain?

Korupsi adalah masalah lintas negara, tetapi tingkat dan bentuknya berbeda-beda tergantung kekuatan tata kelola, penegakan hukum, dan integritas institusi. Mari kita lihat posisi Indonesia berdasarkan indikator global yaitu Corruption Perceptions Index (CPI) dari Transparency International, serta data domestik dari KPK yang menggambarkan dinamika penanganan perkara.

Pada CPI 2024, Indonesia memperoleh skor 37/100 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara. Skor ini naik dibanding CPI 2023 yang berada di 34/100. Secara global, rata-rata skor CPI dunia berada di sekitar 43, menunjukkan bahwa tantangan korupsi masih menjadi persoalan besar bagi mayoritas negara.

Jika dibandingkan dengan negara yang dinilai paling “bersih”, gap Indonesia terlihat cukup besar. Denmark memimpin dengan skor 90, diikuti Finlandia (88) dan Singapura (84); sementara Selandia Baru berada pada skor 83. Negara-negara tersebut umumnya kuat pada aspek transparansi, tata kelola layanan publik yang baik, pengawasan yang efektif, serta kepastian hukum yang konsisten, membuat ruang korupsi lebih sempit dan berbiaya tinggi bagi pelaku.

Di tingkat kawasan ASEAN, perbandingan Corruption Perceptions Index (CPI) menunjukkan kesenjangan integritas yang cukup lebar antarnegara. Singapura menempati posisi teratas di kawasan dengan skor CPI 84 dan peringkat global ke-3, mencerminkan tata kelola publik yang sangat kuat, transparansi tinggi, serta penegakan hukum yang konsisten. Malaysia berada di lapisan menengah atas ASEAN dengan skor 50 (peringkat global 57), sementara Vietnam mencatat skor 40 (peringkat 88). Indonesia berada pada skor 37 dengan peringkat global 99, menempatkannya di kelompok menengah ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, dan Vietnam, namun masih lebih baik dibandingkan Thailand (34), Phillippines (33), Laos (33), Kamboja (21), dan Myanmar (16). Timor-Leste, sebagai anggota terbaru ASEAN, mencatat skor 44 (peringkat 73), menunjukkan posisi yang relatif lebih baik dibandingkan Indonesia dalam persepsi integritas sektor publik.

Posisi Indonesia ini mengindikasikan bahwa tantangan korupsi di tingkat nasional masih bersifat struktural dan sistemis. Meskipun Indonesia tidak berada pada kelompok terbawah di ASEAN, jarak skor dengan negara-negara berintegritas tinggi di kawasan—terutama Singapura—masih sangat signifikan. Perbedaan ini mencerminkan perlunya penguatan tata kelola birokrasi, pengelolaan konflik kepentingan, serta efektivitas pengawasan pada sektor-sektor rawan seperti pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan layanan publik. Tanpa perbaikan yang terintegrasi, risiko korupsi cenderung tetap tinggi meskipun upaya penindakan terus dilakukan.

Dari sisi domestik, data KPK membantu melihat “aktivitas penegakan” secara lebih konkret. Dalam rilis kinerja KPK (data per 19 Desember 2025), penanganan perkara sepanjang 2024 mencakup penyelidikan 73 perkara, penyidikan 154, penuntutan 90, inkracht 91, dan eksekusi 108.  Angka ini tidak otomatis berarti korupsi meningkat atau menurun, tetapi memberi sinyal bahwa penegakan berjalan dan ada volume kasus yang nyata ditangani.

Untuk melengkapi perspektif global berbasis tata kelola, indikator Worldwide Governance Indicators (WGI) – Control of Corruption dari World Bank per tahun 2023 menunjukkan posisi Indonesia masih di level moderat, yaitu kemampuan pengendalian korupsi masih dibawah rata-rata dunia namun tidak termasuk yang terburuk. Kemudian dari sisi ranking, Indonesia menempati percentile rank 30, artinya Indonesia lebih baik dari ±30% negara dan lebih buruk dari ±70% negara lainnya. Hal ini menunjukan, perbaikan memerlukan pendekatan sistemik: penguatan pencegahan, digitalisasi proses rawan, transparansi data, perlindungan pelapor, dan penegakan yang konsisten, bukan hanya mengandalkan penindakan semata.

Kesimpulan

Perbandingan tingkat korupsi Indonesia dengan negara lain menegaskan bahwa tantangan utama tidak hanya terletak pada aspek penindakan, tetapi pada penguatan sistem pencegahan yang terstruktur. Dalam konteks ini, penerapan ISO 37001 Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) menjadi instrumen strategis bagi organisasi publik maupun swasta untuk menutup celah korupsi sejak hulu. SMAP mendorong organisasi membangun kebijakan anti penyuapan, melakukan penilaian risiko penyuapan, memperkuat pengendalian internal, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses bisnis yang rawan. Dengan mengintegrasikan SMAP ke dalam tata kelola organisasi, Indonesia dapat bergerak dari pendekatan reaktif menuju pendekatan preventif, sehingga praktik antikorupsi tidak hanya bergantung pada aparat penegak hukum, tetapi menjadi bagian dari budaya organisasi dan sistem pengambilan keputusan yang berkelanjutan.

Ditulis Oleh: Firmansyah Lubis, GRC – Robere & Associate (Indonesia)

Consult with us